Thursday, April 21, 2016

Kartini, Hanya Propaganda Belanda Mengelabui Sejarah

Lagi lagi, tanggal 21 April, dimana R.A. Kartini selalu menjadi bahan perbincangan di berbagai daerah di Indonesia yang menolak pengkultusan dan penobatan hari lahirnya sebagai salah satu hari besar dan libur nasional. Betapa tidak, setiap daerah di Indonesia memiliki pahlawan wanitanya justru tidak mendapat tempat yang sama dalam narasi sejarah kepahlawanan perempuan Indonesia. 

Baca: Taukah Anda? Agama R.A. Kartini itu Bukan Islam,Tapi Inilah Agama Yang Dianutnya

Tulisan ini tidak untuk mempersoalkan sosok Kartini sebagai simbol perempuan bagi salah satu daerah di Indonesia, walaupun tidak bisa dihindarkan. Tetapi menjadi masalah jika kemudian sosoknya ‘bergentayangan’ di halaman entitas bangsa lain di Indonesia. Tegasnnya, saya tidak mempermasalahkan R.A Kartini sebagai simbol emansipasi masyarakat di pulau Jawa, tapi untuk muncul secara nasional dan menjadi representasi dari kepahlawanan perempuan di Indonesia yang beragam ini, tidak ada teori dan fakta sejarah yang bisa menerimanya.

Dengan alasan surat-surat ‘curhatnya’ kepada penjajah Belanda dan pemikirannya terkait emansipasi dan kebangkitan perempuan, maka dia dianggap layak oleh negara untuk mewakili perempuan Indonesia dalam panggung sejarah nasional. Maka, tanggal 2 Mei 1964 Sukarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Secara bersamaan, tanggal kelahirannya 21 April 1879 dijadikan sebagai Hari Besar Nasional serta diperingati setiap tahunnya di seluruh Indonesia. 

Sekali lagi, bukan persoalan layak atau tidak sebagai Pahlawan Nasional, tapi nasionalisasi Kartini sebagai sosok yang a disputed dalam sejarah telah menghancurkan logika kita terkait perlakuan negara terhadap sejarah pahlawan perempuan lainnya. Hal ini, menjadi semacam kegelapan bagi dimensi sejarah nasional Indonesia.

Saya tidak akan membicarakan perbandingan Kartini, misalnya dengan Siti Aisyah We Tenri Olle (wafat 1919), Raja yang memerintah Kerajaan Ternate selama 55 Tahun dan dikenal sebagai penerjemah epos La Galigo yang masyhur itu. 

Tidak hanya itu, 11 tahun sesudah Kartini lahir di Pulau Jawa, We Tenri Olle sudah mendirikan lembaga pendidikannya di Ternate (tahun 1890). Lebih lagi, membandingkannya dengan Laksamana Malahayati, yang sudah menjabat sebagai Laksamana Laut dan Kepala Protokoler Istana Kerajaan Aceh (tahun 1585), 294 tahun sebelum Kartini lahir atau membandingkannya dengan Sultanah Pertama Kerajaan Aceh Darussalam, Sulthanah Sri Paduka Safiatuddin Tajul ‘Alam Syah Johan Berdaulat Zillullah fil ‘Alam binti Sri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yang memerintah Aceh mulai tahun 1641, artinya 238 tahun sebelum Kartini lahir dan membicarakan emansipasi dan kebangkitan perempuan di Indonesia. 

Demikian juga, kehadiran dua simbol perempuan Aceh yang tersebut itu (Malahayati dan Sultanah Safiatuddin) telah meruntuhkan Teori Feminisme yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet di Eropa menjelang abad 19 yang terkenal dengan Universal Sisterhood atau Teori Gender lainnya yang dipelopori oleh Aktivis Sosiali Utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Maka, tidak ada fakta sejarah yang membantah kepahlawanan perempuan Aceh lebih unggul dibandingkan dengan para pelopor dan aktivis gerakan gender dan feminisme di Eropa itu, lebih lagi dengan Kartini di Indonesia. Hal itulah, yang akhirnya membuat wartawan Belanda yang meliput Perang Belanda di Aceh, H.T. Zentgraaff memuji para perempuan Aceh sebagai de leidster het verzet (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (perempuan-perempuan besar) yang menyamai Semiramis dari Babylonia atau Katharina II dari Rusia.

Hal ini tidak sebatas berbicara romantisme sejarah, khususnya bagi mereka yang menganggap masa lalu adalah hal yang tidak prestise untuk dikemukakan saat ini. Karena asumsi bagi segolongan kita saat ini di Aceh, membicarakan sejarah adalah sikap yang tidak dinamis dan up to date. Terlepas dari itu, bagi saya bicara sejarah adalah bicara nilai, identitas dan asal-usul yang melahirkan karakter dan sikap siapa dan bagaimana kita sesungguhnya dalam ruang politik, sosial dan budaya khususnya dalam bernegara. Sama halnya seperti Kartini, perlakuan dan penafsiran yang berbeda dari negara terkait sejarah (baca: sentralisasi) pergerakan Kartini telah menabrak ruang dan identitas lainnya di Indonesia yang hidup secara beragam dan berbeda dalam perahu yang sama, hingga disinilah sejarah sebagai nilai, identitas dan harga diri menjadi taruhannya. Pun membicarakan siapa Kartini tidak bisa dihindarkan.

Dalam sejarah Aceh, peringatan Hari Kartini pertama kali dilakukan pada April 1944 (Lihat Koran Kita-Sumatora-Simbun Edisi 27 April 1944), artinya proses pengkultusan R.A. Kartini sebagai simbol pahlawan perempuan di Indonesia sudah dimulai sebelum Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka. Jika di analisa, Kartini adalah alat yang digunakan oleh Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh Jepang untuk menghancurkan simbol-simbol semangat dan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di berbagai daerah di Indonesia. Ironisnya, peringatan itu dihadirkan oleh tokoh-tokoh Aceh semisal Teuku Njak Arief, Amelz, Ida Irawaty dan lainnya.

Menolak nasionalisasi Kartini untuk terus diperingati diseluruh Indonesia adalah satu hal yang lumrah dan mutlak, ‘kegelapan’ sejarah dan inkonsistensinya terhadap perjuangan gender di Indonesia telah membuktikan bahwa Kartini bukanlah simbol dan spirit untuk menyatukan perempuan di Indonesia, apa yang dihadapi dan diperjuangkan oleh R.A Kartini adalah sebuah kekhususan bagi daerah dan lingkungannya, sama sekali tidak universal dan bersifat representatif untuk daerah lain dalam narasi sejarah nasional Indonesia. Seharusnya, negara harus bersikap adil dan bijak terhadap sejarah dan simbol daerah lainnya, bukan membuat sekat perbedaan yang merusak nilai multikultural dan keberagaman serta tidak memantik konflik kebudayaan di masa depan nantinya dengan harapan, nasionalisasi dan peringatan hari lahirnya R.A. Kartini perlu ditinjau ulang bahkan eloknya dicabut oleh negara.

Disamping itu, Gelar Pahlawan seharusnya tidak dijadikan sebagai komoditas politik demi menciptakan hegemoni kekuasaan dan pembenaran atas narasi salah satu entitas guna mendapat pengakuan dari entitas lainnya di Indonesia. Jika tidak, sejarah akan kehilangan jati dirinya sebagai cermin untuk bisa melihat keberagaman dan kemajemukan secara jelas, tegas dan terang sehingga kegelapan sejarah yang ada, khususnya peringatan Kartini tidak akan menanbah gelapnya masa depan sejarah multikultural bangsa kita. dimana, habis gelap bertambah gelap nantinya. []
Sumber: http://www.acehtrend.co/kartini-propaganda-penjajah-mengelabui-sejarah/


Terima kasih telah berkunjung di Blog kami! Setelah Anda membaca artikel ini mohon tinggalkan komentar dan jika ingin membagikan atau menyalin isi artikel ini jangan lupa meletakkan sumber link blog http://acehabad.blogspot.com. TERIMA KASIH!

No comments:
Write komentar